sharing is caring

Melawan Gravitasi di Puncak Gunung Prau

Gunung Prau. Ya, adalah sebuah gunung yang cantik dan terletak di dataran tinggi Dieng, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Mengapa disebut Prau? Berbagai sumber mengatakan bahwa bentuk gunung ini mirip dengan perahu yang dibalik, dimana puncaknya memiliki dataran yang cukup luas. Sehingga cocok untuk digunakan camping bagi para pendaki. Dari puncak gunung Prau, kita bisa melihat 3 gunung cantik: Merbabu, Sumbing, dan Sindoro. Jika beruntung, kita pun bisa menikmati sunrise di pagi hari.

 

Ceritanya, saya dan 7 orang teman CPNS LIPI berencana untuk hiking ke gunung Prau di saat weekend awal bulan November. Persiapan kami lakukan dengan matang, mulai dari tenda, bekal, carrier, serta peralatan lainnya. Saya yang belum pernah sama sekali hiking, agak sedikit rempong menyiapkan peralatan. Saya pun harus membeli kostum naik gunung seperti sandal gunung, buff, masker, jas hujan, raincoat untuk melindungi tas dari air hujan, sarung tangan yang harganya ternyata ciamik, kaos kaki, senter, dan perbekalan lainnya. Untuk peralatan macam sandal gunung dan sarung tangan, saya beli di toko Kawani, tempat menjual "outdoor activity tools". Daann sarung tangan yang ciamik harganya Rp55.000! oke, aku rapopo. Haha. Padahal sebenrnya saya kepengen beli sarung tangan di pinggir jalan. Yang ituloh, sarung tangan motor harga goceng! Yang warnanya unyu2! Hahaha...tapi yasudahlah, mungkin sarung tangan mahal ini lebih worth it buat naik gunung. Bayangan saya, mungkin dia benar2 bisa mengusir rasa dingin yang hinggap di telapak tangan saya. Oke. Lanjut.

Kami berangkat dari stasiun Kiaracondong, Bandung pada hari Jumat malam. Pulang kantor pukul 16.30, saya langsung bergegas ke kos untuk mandi dan prepare everything ya. Kami naik kereta Kutojaya Selatan dengan harga yang okepunya, Rp35.000 saja! Ahaaayy..ekonomi luar biasa. Tapi jangan beranggapan kami betah di kereta inii..dengan kursi yang tegak 90 derajat dan empet-empetan dengan sesama penumpang, membuat kami gak betah dan ingin segera cepat sampai tujuan. Berangkat pukul 9 malam, kita tiba di stasiun Kutoarjo pukul 4.45 subuh. Dari sana, kita dijemput oleh ayah dari rekan saya untuk ke rumahnya di daerah Banyu Urip, Purworejo. 20 menit dari stasiun Kutoarjo. Sampai di rumahnya, kita istirahat sejenak, mandi, dan sarapan yang kemudian berangkat menuju Wonosobo jam 9 pagi menaiki mobil Panther milik Angga, rekan saya.

Perjalanan Purworejo-Wonosobo (Dieng) memakan waktu kurang lebih 3 jam. Pukul 12 siang, akhirnya kami tiba di Pos Pendakian Gunung Prau, yaitu di jalur Patak Banteng. Di sini kita istirahat sejenak untuk sholat dan makan siang bersama.

Selesai beberes, akhirnya kita naik pada pukul 1 siang. Diawali dengan berdoa, berangkatlah kami ke puncak Gunung Prau dari Pos Patak Banteng. Jalur awal kami berjalan melewati rumah-rumah penduduk, dan lanjut naik terus ke atas melewati perkebunan. Baru berjalan 15 menit rasanya sudah ngos-ngosan buanget.. jalur yang menanjak terus ditambah membawa tas carrier yang berat..hosh..hosh..
Istirahat 10 menit dan kita melanjutkan perjalanan lagi. Di tengah jalan, kami banyak menemui teman-teman sesama pendaki. Senang rasanya. Mereka begitu ramah dan setiap bertemu selalu saling menyapa dengan sopan, dan saling memberi semangat. Padahal ga kenal. hehe. Kami terus berjalan, 10 menit berjalan, 10 menit istirahat. Hahahahaha. Hingga akhirnya kami sampai di pos 2, Canggal Walangan.


Tak mudah membawa tas berat dan kamera, campur aduk antara capek, ngos-ngosan, dan hasrat untuk ingin hunting foto jepret sana, jepret sini. Adalah ujian bagi seorang hobi fotografi seperti saya. Ceilaaahhh!
Dan ternyata baru saya tau, jalur Patak Banteng adalah jalur yang paling menanjak, terjal, dan menyeramkan (bagi saya), tapi cepat sampai. Yaeyalah. Secara. Selain terjalnya pake banget, sehari sebelumnya adalah pertama kalinya hujan di daerah Dieng. Sooo.. jalan yang kami lalui semacam serak-serak basah. *eh. jadi harus berhati-hati gitu. Sesi paling menyeramkan bagi saya saat menanjak adalah dimana derajat kemiringan tanah berkisar 60 derajat!! Dengan tanah yang masih basah! Sangat rawan untuk kepleset pemirsah! Disitu rasanya saya pengen nangis, pergulatan antara hati, logika, fisik, dan kaki yang saling memaksa antara berhenti atau lanjut naik. Awalnya sih ada tali bantuan untuk naik, tapi semakin ke atas ternyata talinya hilang dan kita harus mandiri menanjak di kemiringan 60 derajat itu. Mental saya rasanya down. Sambil merengek ketakutan, saya terus berjalan naik sampai akhirnya ketemu persimpangan 2 jalan, jika ke kiri banyak dahan dan ranting-ranting, at least kita pisa pegangan sambil menanjak, dan yang kanan bersih tanpa tanaman, licin, dan terjal. And you know, saya terlanjur ambil jalur yang kanan. Mau balik turun untuk ambil jalur kiri rasanya sudah tak mampu, karena menoleh ke bawah membuat mental saya makin down sejadi-jadinya. Hiiihhh... Sambil berdoa dalam hati, saya memaksa diri saya untuk terus berjalan, menahan kaki, dan Alhamdulillah saya ga kepleset sama sekali, sandal yang saya beli memang jooosss!! Tapi saya pun ga habis pikir, di jalur yang terjal kayak gitu, masih ada loh pendaki cewek yang nekat pake sandal jepit swallow, dan ada pula yang pake sandal crocs! Bujubuneeengg.. as you know sandal crocs itu kan licin pake bangeeeettt.. -___- tapi toh ternyata dia fine-fine aja. Sungguh sungguh dah ni orang.. +_+

Baru saya sadari ternyata sarung tangan mahal yang saya beli ini worth it bangeeett.. saat menanjak kan otomatis tangan harus mencari-cari pegangan macam ranting, kayu, pohon, tanah, dan tali. Ranting pun banyak yang berduri. Dan sarung tangan saya melakukan tugasnya dengan baik. Tangan saya sangat terlindungi. Entah gimana nasib tangan saya kalo pake sarung tangan harga gocengan itu. hehe. Baiklah.
Dari pos 2 ini kalo saya tidak salah ingat, kita bisa melihat telaga Warna dan kawah dari kejauhan. Ini penampakannya.

Di tengah perjalanan, kami menjumpai lahan-lahan penanaman kentang. Alhamdulillah dapet angle yang bagus..xixixixi. Ini nyodrek sambil ngos-ngosan... dari 3 foto yg saya ambil, cuma ini yang paling oke..yg lain blur gegara ngos-ngosan! hahahahaha...

Melewati pos 3 yang tak sempat berfoto karena kelelahan sangat sangat, jalan terjal masih terus menghantui kami. Jalur Patak Banteng ini bener-bener ga bisa mengampuni kami, sama sekali ga ada jalan landainya! Luar biasaah pemirsaahh.. Semakin mendekati puncak, jalan menjadi agak landai dan kami banyak menemukan bunga Daisy. Indaaah bingiiiiitt.. Subhanallah.. inilah mahakarya Allah.. :)



Sampai di puncak Prau sekitar pukul 4 sore dan kami langsung mendirikan tenda. Langit menampakkan mendungnya dan memperingatkan akan segera hujan sepertinya. Benar. 1 jam kami mendirikan tenda, hujan turun. Untung tidak begitu deras. Oh iya, sebelum hujan turun dan artinya kabut juga turun, teman saya sempat mengabadikan foto gunung Merbabu, Sumbing, Sindoro, yang diambil langsung dari puncak Prau. Subhanallah.

Hujan berhenti 1 jam berikutnya, dan kami akhirnya memasak nasi. Sambil makan nasi dengan lauk rendang kering dan kering kentang, kami bermain kartu dan gaple di tenda. Malamnya kami menggoreng sosis dan nugget. Sampai jam 10 akhirnya tidak kuat lagi dan tepar di tenda masing-masing. Namun keadaan di perkemahan sini sangatlah bising, banyak pendaki yang baru tiba di puncak pada tengah malam. Ga bayangin malem2 mendaki gimana rasanya yak. Bahkan sampai subuh pun masih banyak suara-suara para pendaki yang bercakap-cakap. 
Akhirnya pagi tiba dan kami memasak mie kuah untuk disantap bersama-sama. Selesai itu kita beberes dan menutup tenda. Kami mulai turun gunung sekitar pukul 9 pagi dan berencana turun lewat jalur Dieng, jalur yang lebih landai tapi makan waktu lama. Dalam perjalanan awal, kita melewati bukit Telettubbies. Yahh, tau gini mendirikan tendanya di bukit Telettubies aja yaaa, bersih dari sampah, luas, banyak rumput, otomatis lebih hangat. Hiks hiks. Tapi it's oke. Sayangnya bukit telettubies tak seindah di film Telettubbies beneran. hahaha. Rumputnya berwarna hijau kecoklatan, malah banyak coklatnya, persis ketika saya mengunjungi bukit Teletubbies di Bromo kemarin. Entah mengapa, mungkin pengaruh musim kemarau?

Di tengah perjalanan turun kami juga menjumpai pohon buah Carica (Pepaya Gunung) buah ini merupakan oleh-oleh khas Dieng. Bentuknya mirip buah pepaya, tapi dengan ukuran yang lebih kecil. Jika matang ia berwarna kuning. Dan diolah sebagai manisan dicampur sirup oleh warga sekitar. Harga oleh-oleh manisan Carica adalah Rp30.000 1 box, dengan isi 12 cup. Sirup yang dipakai berwarna kuning dan merah.
Kami sampai di basecamp sekitar pukul 12 siang. Alhamdulillah, perjalanan turun lancar, meskipun agak terjal, tapi masih better daripada jalur Tapak Benteng kemarin. 

Kami kembali ke rumah Angga untuk mengembalikan mobil dan ishoma. Kereta untuk kembali ke Bandung adalah pukul 8 malam, kami naik kereta Lodaya bisnis. Inginnya naik ekonomi, tapi sepertinya kami tak sanggup jika harus naik kereta ekonomi dengan fisik yang payah. hahaha. Alhamdulillah, hari Senin pukul 4 pagi kami tiba di Stasiun Bandung. Pulang kos, tidur sejenak, dan langsung berangkat ke kantor lagi untuk mengikuti upacara Hari Pahlawan. Selamat Hari Pahlawan semuanya! Semoga perjuangan pahlawan Indonesia akan selalu terkenang dan semoga para Pahlawan mendapatkan tempat terbaik di Sisi-Nya. Amin....

1 comment on "Melawan Gravitasi di Puncak Gunung Prau"

EMOTICON
Klik the button below to show emoticons and the its code
Hide Emoticon
Show Emoticon
:D
 
:)
 
:h
 
:a
 
:e
 
:f
 
:p
 
:v
 
:i
 
:j
 
:k
 
:(
 
:c
 
:n
 
:z
 
:g
 
:q
 
:r
 
:s
:t
 
:o
 
:x
 
:w
 
:m
 
:y
 
:b
 
:1
 
:2
 
:3
 
:4
 
:5
:6
 
:7
 
:8
 
:9

PERJALANAN INVESTASI : DARI TABUNGAN BERJANGKA HINGGA SAHAM

Waw baca judulnya kayak iye banget ya? Hahaha. Tulisan ini hanya menceritakan pengalaman, bukan rekomendasi. Keputusan investasi semua berad...

Post Signature

Post Signature